GUE, aku, saya dan kami.
Dibandingkan “gue, aku” dan “saya”, baik dalam bahasa tutur, maupun komunikasi tulis, kata “kami” sering kami gunakan. Bahkan boleh dikatakan selalu.
Mengapa? Itulah pertanyaan yang diajukan Irwan Safari, salah seorang karib kami.
Pertanyaan itu disampaikannya via layanan messenger.
Dia mengirim pertanyaan tersebut pukul 05.49 WIB, Jum’at, 18 Oktober 2019.
Kami membacanya sekitar pukul 07.00 WIB kurang seperempat jam.
"Mengapa Bapak menggunakan kata "kami" sebagai pengganti subjek diri Bapak sendiri dalam hampir setiap tulisan" itu"? Terima kasih, Pak!”, itulah pertanyaan yang menjadi bagian dari messenger yang kami terima dari Irwan Safari.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Dalam Jaringan (Daring), keempat kata itu ada. Jadi boleh digunakan.
Kami bukan keturunan suku Jawa. Tapi, selain banyak teman dan juga ada berjiran, kami juga pernah indekos selama 3 tahun di rumah “Wong Jowo”. Waktu SMP.
Karena itu, disamping “sitik-sitik iso ngomong Jowo”, kami juga tahu ada tingkatan dalam bahasa Jawa. Yakni, bahasa Jawa Ngoko, Krama Madya dan Krama Inggil.
Dibandingkan Ngoko dan Krama Madya, bahasa Jawa Krama Inggil jauh lebih halus. Dan sebaliknya.
Begitu pula “gue”, “aku”, “saya” dan “kami”.
Dibandingkan “saya” dan “kami”, kata “gue” dan “aku”, memiliki kadar kesombongan; derajat keakuan yang lebih tinggi. Meskipun yang suka memakai kata “gue” dan “aku”, bisa jadi tidaklah lebih tinggi dari kami.
Sebaliknya, tingkat ego, pongah, angkuh atau congkak dari kata “kami”, lebih minimalis dibandingkan “gue”, “aku”, dan “saya”.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang kami yakini, serta berbagai teladan dari Rasulullah SAW., mengajarkan umatnya hidup minimalis; bersahaja; sederhana. Dan tentunya juga tak boleh takabur.
Itu alasan pribadi mengapa kami menggunakan kata “kami” dalam hampir setiap rangkaian kata yang kami tulis. Bukan “gue” atau “aku”.
Boleh setuju, juga sah-sah saja tak sependapat. Atau, juga tak haram walau sependapat, tapi tak seia sekata.
Sedangkan alasan sebenarnya atau sumber acuan utamanya adalah KBBI Daring.
Kata “kami”, menurut KBBI Daring, merupakan pronomina atau kata ganti.
Maknanya, “yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak termasuk yang diajak berbicara); yang menulis atas nama kelompok, tidak termasuk pembaca.”
Lainnya, “yang berbicara (digunakan oleh orang besar, misalnya raja); yang menulis (digunakan oleh penulis).”
Sekitar 91 tahun silam, tepatnya 28 Oktober 1928, sebagai pronomina, kata “kami” digunakan dalam sebuah ikrar kebulatan tekad hasil musyawarah mufakat yang bulat. Sumpah Pemuda.
Yakni, “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Kebulatan tekad yang akan sudah pasti kita tulis atau lafazkan dengan tetap menggunakan kata “kami”, meskipun kita tulis atau ucapkan sendiri di tempat sunyi tanpa bunyi.
“Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan tertibkan bahasa asing!”, itulah moto yang dituliskan Balai Bahasa Riau dalam spanduk, ketika melaksanakan penyuluhan Penggunaan Bahasa Indonesia di Gedung Daerah Datuk Laksamana Raja Dilaut Bengkalis, Sabtu, 5 Oktober 2019.
Sesuai tekad 91 tahun lalu “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, mari kita jadikan bahasa Indonesia sebagai junjungan dalam keseharian. Tulis atau lisan.
Selamat Hari Sumpah Pemuda ke-91 tahun 2019. Bersatu Kita Maju.
Jadilah pemuda yang bersatu untuk maju dengan prestasi yang kemilau, bukan menjadi pemuda yang kemilau dalam galau. #####
Bengkalis, 18 Oktobe 2019